Jumat, 09 Desember 2011

Pengembangan kurikulum Pendidikan di Indonesia dan perencanaannya

Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1)      Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2)      Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
3)      Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4)      Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara  actual menjadi kenyataan pada setial siswa.

Program Kurikulum Pendidikan
1. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
2. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
3. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
4. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
5. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).

 Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum yakni: kurikulum Humanistik, kurikulum rekontruksi sosial kurikulum teknologi, dan kurikulum subyek akademis.
Tetapi pada pembahasan ini lebih ditonjolkan pada pembahasan kurikulum humanistik dan rekontruksi sosial.

1. Kurikulum Humanistik
Kurikulum Humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi. Dalam pandangan humanisme, kurikulum sebagai sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai integrafi perkembangan dalam menuju aktualisasi diri.
Kurikulum Humanistik menitik beratkan pada pendidikan yang integrative antara aspek afektif  (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan kecakapan intelektual) atau menambah aspek emosional ke dalam kurikulum yang berorientasi pada subyek metter (mata pelajaran). Pendidikan humanistic menekankan peranan siswa. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendir atau bagaimana merasakan atua bersikap terhadap sesuatu.
Aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistic yaitu pendidikan konfluen, kritikisme radikal dan mistikisme modern.
a.       Pendidikan konfluen
Pendidikan yang memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang mengandung segi efektif. Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap perasaan dan nilai yang harus dimiliki murid.
  • Ciri-ciri kurikulum konkluen:
1.      Partisipasi => partisipasi dalam belajar
2.      Integrasi => interaksi dari pemikiran perasaan dan juga tindakan
3.      Relavansi => keterkaitan
4.      pribadi anak (self) => memberi tempat utama pada anak
5.      Tujuan => mengembangkan pribadi yang utuh yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan abyektif dan subyektif berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat.
  • Metode-metode belajar konfluen
Dalam kurikulum konfluen telah disusun kurikulum untuk berbagai bidang pengajaran mencakup tujuan, topic yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran dan buku teks yang tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran. Unit-unit pelajaran yang telah dujicobakan kebanyakkan bahan ini dengan teknik afektif.
Teknik kofluen di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara 2 orang, fantasi body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu, ritual, suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan/ritual baru.
b.      Pendidikan kritikisme radikal
Pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak mengembangkan sendiri potensi yang dimiliki. Bersumber dari aliran naturalisme/ romantisme rousseau.
Dalam pendidikan ini tidak ada pemaksaan yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
c.       Mistikisme modern
Aliran yang menekankan pada latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
2. Karakteristik Kurikulum Humanistik
a.       Tujuan
Fungsi kurikulum memberikan pengalaman kepada setiap siswa untuk menunjang secara intrinsik tercapainya perkembangan dan kemerolekaan pribadi.
Tujuan pendidikan sebagai proses dinamika pribadi yang berhubungan dengan integrasi dan otonomi pribadi yang ideal. Aktualisasi diri merupakan inti kurikulum humanistik, artinya perwujudan diri yang ideal sebagai suatu kebutuhan.
b.      Metode
Kurikulum humanistic menuntut hubungan emosiaonal antara guru dengan anak didik melalui suasana belajar yang menyenangkan. Materi pelajaran hendaknya merangsang anak belajar sedangkan guru mendorong para siswa untuk saling mempercayai dalam proses.
c.       Organisasi
Salah satu kekuatan besar kurikulum humanistik adalah terletak dalam integrasi, yang artinya pencapaian kesatuan tingkah laku anak didik baik emosi pikiran dan tindakan. Organisasi bertujuan untuk mengatasi kelemahan kurikulum tradisional yang berorientasi pada materi yang gagal dalam menghubungankan psikologi anak.
d.      Evaluasi
Kurikulum konvensional bertujuan sebagai kriteria hasil belajar. Kurikulum humanistik lebih mengutamakan proses dari pada hasil artinya apakah aktifitas belajar yang dapat membantu anak didik menjadi manusia yang lebih terbuka dan mandiri.
3. Kurikulum Rekontruksi Sosial
Kurikulum rekontruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut  mereka pendidikan bukan upaya sendiri melainkan, kegiatan bersama, interaksi, kerjasama, kerjasama. Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru tetap juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang dilingkungannya dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui kerjasama dan interaksi ini siswa berusa memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik.
Para ahli rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Mereka ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat memuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui kosensus sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi.
Para rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
a.       Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri desain kurikulum:
1)      Asumsi
Tujuan utama kurikulum rekontruksi sosial adalah menhadapkan para siswa pada tantangan, ancaman hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan, ancaman-ancaman tersebut yang perlu didekati dalam bidang ekonomi, sosiologi psikologi dan lain-lain.
2)      Masalah-masalah sosial yang mendesak
Merupakan pemusatan kegiatan belajar yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya, dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan?
Pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam bukan saja dibuku-buku melainkan yang dari kehidupan nyata dalam masyarakat.
3)      Pola-pola organisasi
Pada tingkat sekolah menengah pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Ditengahnya merupakan masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi.
b.      Karakteristik Kurikulum Rekontruksi Sosial
1)      Tujuan
Tujuan utama kurikulum ini adalah untuk menghadapkan anak didik dengan tantangan-tantangan hidup yang dihadapi manusia.
Isi kurikulum diharapkan memberikan bekal kepada anak didik agar mampu menghadapi tantangan kemanusiaan.
2)      Metode
Guru dapat membantu anak didiknya untuk menemukan minatnya dan para membuat kurikulum menghubungkan tujuan nasional/tujuan dunia dengan tujuan anak didik.
Dengan begitu, anak didik dapat menggunakan minatnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3)      Evaluasi
Ditujukan kepada penilaiana terhadap kecakapan anak-anak didik dalam menghadapi tujuan-tujuan kualitatif kurikulum rekontruksi sosial. Bentuk evaluasi yang lebih ketat yakni ujian komprehansip yang diadakan akhirnya tahun ajaran yang bertujuan untuk mensistensakan dan melihat keseluruhan pengetahuan, ketrampilan dan sikap selama masih belajar.
4)      Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahakan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan pontensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan  potensi tersebut.
Para ahli kurikulum menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada penggalian-penggalian sumber-sumber alam dan bukan alam, populasi kesejahteraan masyarakat dan lain-lain.
4. Kurikulum Tradisional Atau Progresif
Menjalankan kurikulum tradisional atau progresif akan banyak mendapat tantangan, antara lain dari pihak guru yang dikenal karena sikap koservatifnya, juga orang tua yang mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya.
Menganut kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang di dasarkan atas subyek atau mata pelajaran yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah. Bahan mata pelajaran di ambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa dikembangkan para ilmuwan dank arena itu mendapat penghargaan  tinggi dari masyarakat.
Penganut kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan tetapi tidak dipelajari demi ilmu itu sendiri, akan tetapi untuk dipergunakan dalam memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan ilmu yang diperlukan.
Kurikulum tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai bahan, metode belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif memperhatikan bahkan membantu perkembangan keunikan individu. Kurikulum tradisional menerima kenyataan dalam masyarakat sebagaimana adanya, sedangkan kurikulum progresif berusaha untuk mengubah lingkungan untuk membentuk dunia yang lebih baik.(Oleh Sri Windari (Mahasiswa Program Pascasarjana UNISMA Malang).
Kita berharap pemerintah yang dalam hal ini Pendidikan dan kebudayaan selalu memperhatikan aspek aspek dalam perencanaan kurikulum.Pemahaman kurikulum yang tidak ruwet /gamblang akan terasa mudah dipahami dan di aplikasikan  bukan hanya pendidik atau institusi yang terkait  tetapi juga para anak didik .Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat tentu Pemerintah dalam hal ini Pendidikan dan Kebudayaan selalu meninjau kembali kurikulum dan memperbaiki untuk lebih mudah di pahami dan di aplikasikan dengan mempertimbangkan batas kemampuan daya pikir anak dan pemahaman anak terhadap kurikulum yang selalu mengalami metamorfosa.